Merdeka 100 %




Merdeka
100 %





Negeriku kini telah merdeka,


mengumandangkan proklamasi 73
tahun silam.


Disusul sorak sorai dan tepukan
yang riuh meriah.


Mengubur perlahan kutukan
penjajahan yang membinasakan,


sejak hidup hingga tewas di medan
pertempuran.


Darah dan mayat berceceran
dimana-mana,


jeritan wanita dan anak-anak
meraung-raung.


Duduk tersungkur dengan senapan


tepat di pelipis kepala.


Sebilah bambu runcing menjadi
saksi hidup,


Mati atau merdeka.


Istri-istri dipergauli dan
dibunuh,


sementara cekikikan tawa di atas
tangisan


yang hampir berdarah.


Prajurit proklamasi menemui
ajalnya,


disekutui oleh penghianat dengan
rupa yang tak berbeda.


Bersembunyi di atas tanah
kelahiran


yang dijejaki manusia-manusia tak
beradab.


Negeriku akhirnya kini merdeka,


mengumandangkan kebebasan yang
dibuat seolah bergema.


Hingga dilakonkan laksana wangi
maut


bunga katsuri.


Gentar berpendar dalam nelangsa


yang menyeret jiwa-jiwa prajurit
yang tewas teraniaya.


Dihantui dendam dan ketakutan
yang kian legam.


Sementara proklamasi tetap dikumandangkan,


seolah percaya bahwa negeriku
benar-benar merdeka.


Menunda perjuangan sekarat


yang ingin menjerat maut sekali
lagi.


Akankah rakyat pribumi dengan
khidmat


menikmati kemerdekaan?


Atau tetap mati membusuk di
gubuk-gubuk


reot yang tua itu.


Sejarah menjadi bisu dihadapan
rakyat jelata


yang meringis menuntut
kemerdekaan seutuhnya.


Dan sekali lagi dikumandangkan,


jika negeriku kini telah merdeka.


Tank tank berukuran raksasa


menjadi renta tak bertuan.


Tapi tetap saja rakyat pribumi
mengayuh


harapan dan cita yang sia-sia.


Melarat hingga berkarat di tanah
yang sekarat.


Dan rakyat pribumi kembali


mempertegas lekuk bayangan
sendiri


pada cermin yang tak pernah
mengumbar dusta.


Mengenali belulang-belulang yang
diremuk paksa.


Dan semboyan itu tetap dikumandangkan,


bahwa negeriku kini telah
merdeka.


Mengecup semesta tanpa suara
ledakan


yang melesat tiba-tiba.


Memecah hening yang kini tentram
tanpa trauma.


Namun sesekali rakyat pribumi
menjadi pasrah,


digerogoti serapah yang
mengawang-ngawang.


Menyentak dahaga dan perut
keroncongan,


Terkunci dalam sesak yang
mengiris sembilu.


Meski pilu terkubur hingga
membusuk


di tanah berkabung.


Tetap saja dikumandangkan bahwa


negeriku kini telah merdeka?


Makassar, 15
Juli 2018










Nurlatifah Amu 


Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan 2016

0 Komentar