Oleh: Erlandi Saputa
Era digital
yang membuka akses informasi secara luas telah menjadikan kesadaran akan
pentingnya sejarah sebagai fondasi identitas bangsa semakin relevan. Isu
penulisan ulang sejarah Republik Indonesia yang belakangan mencuat bukan
sekadar menyentuh aspek pembaruan data atau penyempurnaan materi ajar,
melainkan menggugah pertanyaan mendasar tentang bagaimana suatu bangsa
merefleksikan masa lalunya dan menentukan arah masa depannya. Polemik ini
memunculkan kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa narasi sejarah yang
dibangun tetap berpijak pada kebenaran, menjunjung kejujuran, dan terbuka
terhadap keberagaman perspektif. Pengawalan kritis terhadap proses ini menjadi
bagian dari tanggung jawab kolektif, terutama bagi kalangan akademik dan
generasi muda yang peduli terhadap integritas sejarah nasional
Pemerintah,
melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon, menyampaikan bahwa proyek penulisan ulang
sejarah ini adalah langkah penting dan mendesak. Disebutkan bahwa selama lebih
dari dua dekade terakhir, Indonesia belum pernah menyusun sejarah nasional
secara komprehensif. Dalam pandangan pemerintah, di tengah derasnya arus
informasi dan maraknya disinformasi sejarah di ruang digital, negara perlu
hadir dengan narasi resmi yang terstruktur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk itu, sekitar 130 sejarawan dan akademisi dari 34 perguruan tinggi
dilibatkan dalam penyusunan ini, dengan rencana uji publik dimulai bulan ini
dan peluncuran naskah sejarah nasional ditargetkan rampung pada Agustus 2025.
Di atas kertas, proyek ini tampak sistematis dan melibatkan sumber daya
akademik yang memadai.
Namun, suara
berbeda datang dari kalangan masyarakat sipil. Koalisi Sipil, khususnya Aliansi
Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), menilai bahwa proyek ini mengandung
potensi bahaya besar. Mereka mengkhawatirkan bahwa penulisan sejarah yang
dilakukan secara terpusat oleh negara dapat menjadi alat monopoli narasi.
Sejarah yang hanya ditulis dari sudut pandang pemerintah berisiko menyingkirkan
pengalaman dan suara-suara yang selama ini terpinggirkan, seperti para korban
konflik, penyintas pelanggaran HAM, maupun kelompok-kelompok sosial yang tidak
pernah diakomodasi dalam narasi resmi. Bagi AKSI, sejarah adalah milik rakyat.
Oleh karena itu, proses penulisannya harus terbuka, partisipatif, dan tidak
dikendalikan oleh satu kepentingan politik tertentu.
Dalam
berbagai pernyataannya, AKSI mengingatkan bahwa distorsi sejarah sekecil apapun
bentuknya bisa berdampak serius terhadap masa depan bangsa. Menghapus atau mengaburkan
peristiwa-peristiwa kelam demi membangun citra tertentu hanya akan memperparah
luka kolektif yang belum selesai disembuhkan. Penolakan mereka bukan sekadar
penolakan teknis, melainkan peringatan terhadap bahaya instrumentalitas sejarah
sebagai alat kekuasaan. Di sisi lain, kritik juga datang dari kalangan
akademisi dan politikus. Sejarawan senior seperti Prof. Dr. Anhar Gonggong
menyebut tenggat Agustus 2025 sebagai tidak realistis, mengingat kompleksitas
dan luasnya aspek yang harus ditelaah dalam sejarah bangsa. Kelompok politik
seperti PKB dan PDIP juga menyuarakan penundaan proyek ini karena dinilai bisa
berimplikasi pada penghapusan jejak pelanggaran HAM masa lalu, jika tidak
dilaksanakan dengan prinsip transparansi dan keadilan.
Sebagai mahasiswa, memandang
bahwa sejarah bukanlah dokumen kaku yang bisa disusun secara sepihak. Sejarah
adalah rangkaian narasi, yang terdiri atas beragam pengalaman manusia: pahit
dan manis, mulia dan kelam. Memaksakan satu versi tunggal sejarah sama saja
dengan mengingkari keragaman realitas yang telah membentuk bangsa ini. Oleh
karena itu, penulisan ulang sejarah haruslah menjadi ruang bersama, tempat
semua suara bisa didengar bukan hanya suara mereka yang duduk di kursi
kekuasaan.
Proyek
penulisan ulang ini memang tidak bisa ditolak begitu saja. Namun yang lebih
penting adalah bagaimana prosesnya dijalankan. Transparansi metodologi,
keterbukaan terhadap kritik, serta pelibatan kelompok masyarakat yang memiliki
memori historis adalah prasyarat mutlak. Proyek ini harus dijauhkan dari ambisi
politis jangka pendek, dan benar-benar difokuskan pada upaya kolektif membangun
narasi sejarah yang jujur, kritis, dan reflektif. Sejarah bukan untuk
mengagungkan kekuasaan, melainkan untuk menjadi cermin tempat kita belajar
sebagai bangsa: mengenali keberhasilan sekaligus berani mengakui kesalahan.
Saya
percaya, generasi muda memiliki tanggung jawab penting dalam mengawal proses
ini. Kita tidak boleh bersikap pasif atau netral ketika sejarah sedang ditulis
ulang. Kita harus hadir sebagai pengingat bahwa bangsa ini dibentuk oleh
keberagaman suara, bukan oleh keseragaman narasi. Tugas kita belum selesai.
Justru di sinilah peran kita dibutuhkan menghadirkan keberanian untuk bersuara,
serta memastikan bahwa sejarah Indonesia bukan hanya ditulis oleh mereka yang
menang, tapi juga mencatat mereka yang pernah terluka.
Referensi:
Koalisi Sipil Tolak Penulisan Ulang Sejarah RI – IDN Times
Menbud Fadli Zon Tolak Setop Penulisan Ulang Sejarah RI – CNN Indonesia
0 Komentar