Tuhan Sedang Diskon, Silahkan Dibeli

Oleh : Muh. Ismail Arfah

Tulisan ini lahir dari keresahan yang perlahan tumbuh di sudut hati, sebuah pertanyaan yang tak henti menggema dalam kepala tentang makna agama di tengah realitas sosial. Beberapa hari sebelum tulisan ini dipublikasikan, saya menghadiri sebuah acara di desa untuk melihat, mendengar dan belajar. Di sanalah, seorang ibu diberi kesempatan bicara. Dengan mata yang menatap tajam dan suara yang sarat luka, ia meminta keadilan bukan belas kasih. Ia menuntut upah dari keringatnya sendiri. Namun yang ia terima hanyalah janji manis, dibalut retorika surgawi dan himbauan untuk 'lebih bersyukur'. Seketika, kata 'syukur' terasa seperti tali pengikat agar suara-suara seperti ibu itu tetap diam. Tulisan ini bukan hanya lahir dari ruang diskusi, tetapi dari suara-suara yang sering kali tenggelam baik yang kita temui di realitas nyata, maupun yang sekilas lalu muncul di FYP kita.

 Agama sejatinya adalah cahaya. Ia hadir untuk menerangi akal, menyucikan hati, dan membebaskan manusia dari belenggu hawa nafsu, keserakahan, dan ketidakadilan. Namun, dalam perjalanan sejarahnya tak sedikit yang menjadikan agama bukan sebagai jalan pulang kepada Tuhan, tetapi sebagai kendaraan menuju kekayaan duniawi.

Kini kita berada di zaman ketika agama tidak lagi diposisikan sebagai pondasi moral, melainkan sebagai "brand". Produk-produk dijual dengan label syariah, seminar-seminar spiritual dibanderol mahal, dan narasi-narasi surgawi dipakai untuk menggugah konsumen, bukan untuk menyadarkan umat. Muncullah wajah baru dari kapitalisme modern yaitu kapitalis berbungkus agama.

Kita tak sulit menemukan fenomena ini. Kata "syariah" menghiasi bank, koperasi, kosmetik, bahkan laundry. Memang, tidak semua berniat buruk. Tapi kita layak bertanya, apakah semua itu betul-betul menegakkan nilai agama, atau sekadar memanfaatkan sentimen keagamaan demi keuntungan? Ketika label halal jadi alat marketing, ketika kata "berkah" dijadikan slogan penjualan, maka agama yang suci perlahan berubah menjadi alat promosi.

Agama yang seharusnya menjadi ruh kini berubah menjadi logo. Umat tidak lagi diajak merenung, melainkan dirangsang untuk membeli. Ini yang disebut sebagai eksploitasi spiritual yaitu membajak kepercayaan umat untuk kepentingan ekonomi.

Lebih menyedihkan lagi ketika iming-iming surga diperjualbelikan. Ada sedekah tertentu yang disebut akan mempercepat jalan ke surga. Ada produk yang katanya menjemput pahala besar. Bahkan, ancaman neraka diselipkan bagi yang enggan "bertransaksi". Tuhan digambarkan seperti CEO, agama dijadikan brosur, dan manusia diperlakukan sebagai target market.

Dalam logika kapitalisme religius, ibadah bukan lagi soal ketulusan, tetapi soal imbal hasil. Wakaf dikomersialisasi, dakwah diperdagangkan, dan pahala dikemas sebagai bonus. Semua itu dibungkus dalam narasi religius yang rapi, seolah-olah sah, padahal mengaburkan esensi agama.

Yang paling ironis, kapitalisme agama menjadikan umat sebagai objek bukan subjek. Mereka diposisikan sebagai pasar yang harus terus digugah, ditakuti, disentuh emosinya semata-mata agar tetap loyal dan konsumtif. Saat mereka kesulitan hidup, para kapitalis religius ini justru hadir menawarkan "solusi" berupa produk atau program yang ujung-ujungnya tetap bernuansa dagang.

Padahal yang umat butuhkan adalah keadilan, bukan hanya retorika. Mereka butuh pembelaan nyata, bukan sekadar motivasi spiritual yang kosong makna. Para kapitalis agama ini pandai bicara tentang surga, tapi tak hadir saat umat kelaparan. Mereka menjual harapan, tapi menumpuk keuntungan. Cuakss...

Ekonomi berbasis nilai agama bukanlah sesuatu yang salah. Zakat, infak, wakaf semuanya adalah instrumen penting dalam Islam. Tapi ketika orientasinya bergeser dari rahmatan lil 'alamin menjadi keuntungan sebesar-besarnya, maka kita harus bertanya "ini masih dakwah atau sudah dagang?" HAHAHA.

Agama tidak dilarang berdampingan dengan ekonomi. Namun yang perlu diwaspadai adalah ketika ekonomi menunggangi agama, bukan disinari olehnya. Di sinilah titik rawan munculnya kapitalisme berbungkus agama.

Diri yang masih penuh dosa ini tidak sedang menyerang dakwah, melainkan sedang mengingatkan bahwa agama terlalu suci untuk dimanipulasi. Iman terlalu mulia untuk dijadikan alat komersial. Kita butuh dakwah yang jujur, bukan yang menakut-nakuti. Kita butuh ekonomi umat, tapi yang dibangun atas dasar akhlak, bukan keserakahan.

Sebagai umat kita harus bisa membedakan mana dakwah yang tulus dan mana yang manipulatif. Jangan sampai kita jadi korban dari sistem yang menjual agama demi laba. Pada akhirnya agama bukan untuk dijual. Ia adalah cahaya yang menerangi jalan bukan untuk dikomersialkan di atasnya.

0 Komentar