RUU TNI 2025 : Antara Kepentingan Negara dan Kekhawatiran Masyarakat

 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan pengesahan Rancangan Undang Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dipimpin oleh Puan Maharani selaku Ketua, di dampingi oleh Wakil Ketua, yaitu Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, dan Saan Mustopa. Agenda utama rapat ini adalahpengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-UndangNomor 34 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). DPR RI telah mengesahkan RUU TNI menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna di Senayan, JakartaKamis (20/03/2025). Pasal yang diubah dalam RUU TNI, antara lain:

Pasal 3: Kedudukan TNI. Pada ayat (2) berbunyi : Kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi yang berkaitan dengan aspek perancangan strategis TNI itu berada di dalam koordinasi Kementerian Pertahanan. Sebelumnya berbunyi : Dalam kebijakan dan strategi pertahanan dan dukungan administrasi, TNI berada dibawah koordinasi Departemen Pertahanan.

Pasal 7Operasi Militer Selain Perang (OMSP). RUU TNI menambah dua kewenanangan TNI dalam OMSP dari semula 14 menjadi 16: Pertama, TNI bisa membantu menanggulangi ancaman siber. Kedua, TNI bisa melindungi dan menyelamatkan warga negara atau kepentingan nasioanal di luar negeri.

Pasal 47 : Jabatan Sipil. Prajurit isa duduki jabatan kementerian/Lembaga berikut:

• Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
• Kementerian Pertahanan, termasuk Dewan Pertahanan Nasioanal
• Kesekretariatan negara yang menangani kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden
• Badan Intelijen Negara
• Badan Siber dan/atau Sandi Negara
• Lembaga Ketahanan Nasional
• Badan Search And Rescue (SAR) Nasional
• Badan Narkotika Nasional
• Mahkamah Agung
• Badan Penanggulangan Bencana
• Badan Penanggulangan Terorisme
• Badan Keamanan Laut
• Kejaksaan Republik Indonesia

Pasal 53 : Batas Usia Pensiun. Batas usia pensiun prajurit TNI dinaikkan di revisi UU ini:

• Bintara dan Tantama paling tinggi 55 tahun
• Perwira sampai dengan pangkat Kolonel paling tinggi 58 tahun
• Perwira tinggi bintang 1 paling tinggi 60 tahun
• Perwira tinggi bintang 2 paling tinggi 61 tahun
• Perwira tinggi bintang 3 paling tinggi 62 tahun
• Perwira tinggi bintang 4 paling tinggi 63 tahun, bisa diperpanjang maksimal dua kali sesuai dengan keputusan Presiden

Pengesahan RUU TNI oleh DPR menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat, terutama kemungkinan kembalinya Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang telah dihapus pada era Reformasi. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 47, yang memungkinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga Negara. Masyarakat memiliki ketakutan terkait terulangnya sejarah kelam Orde Baru, di mana militer memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dunia politik dan pemerintahan, yang berujung pada otoritas kekuasaan serta melanggar hak asasi manusia.

Di masa lalu, penghapusan dwifungsi ABRI bertujuan untuk menjamin supremasi sipil dan menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel. Namun, dengan adanya revisi UU TNI yang baru ini, prinsip tersebut berisiko terkikis, karena peran militer dalam pemerintahan kembali bermusuhan, yang berpotensi mengurangi independensi pemerintah sipill. Penghapusan dwifungsi ABRI pada era Reformasi dilakukan karena kebijakan tersebut dianggap memberikan dampak yang kurang baik bagi kehidupan sosial dan politik di Indonesia, terutama dalam hal dominasi militer di berbagai aspek pemerintahan yang seharusnya dikelola oleh pihak sipil. Pada masa Orde Baru, ABRI tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan negara yang bertugas menjaga keamanan dan kedaulatan bangsa dari ancaman luar, tetapi juga memiliki kewenangan untuk terlibat langsung dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, dan budaya, sehingga peran mereka menjadi sangat luas dan melampaui tugas utama sebagai institusi pertahanan.

Keberadaan dwifungsi ABRI pada Orde Barumenyebabkan institusi militer memiliki pengaruh yang besar dalam pemerintahan, yang akhirnya dimanfaatkan oleh Presiden Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya secara otoriter dengan menggunakan ABRI sebagai alat politik yang siap menyingkirkan siapa pun yang dianggap mengancam stabilitas pemerintahannya. Karakteristik militer yang menekankan kedisiplinan dan kepatuhan terhadap atasan membuat para anggota ABRI cenderung mengikuti perintah dari pemimpin tertinggi tanpa mempertanyakan apakah kebijakan tersebut berpihak kepada kepentingan rakyat atau hanya sekadar melanggengkan kepentinganpenguasa. Akibat dari situasi ini, muncul berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan masyarakat luas, termasuk tindakan represif terhadap kelompok-kelompok yang menuntut perubahan, pembatasan kebebasan berpendapat, serta pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam berbagai peristiwa politik di era tersebut.

Dengan adanya tuntutan reformasi yang menginginkan sistem pemerintahan yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel, maka kebijakan dwifungsi ABRI akhirnya dihapuskan agar peran militer dapat dikembalikan sesuai dengan fungsi utamanya sebagai penjaga pertahanan negara yang netral dan profesional, sementara urusan politik diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan sipil yang lebih mengedepankan kepentingan rakyat. Penghapusan dwifungsi ABRI ini diharapkan mampu menciptakan tatanan pemerintahan yang lebih adil dan demokratis, di mana kekuasaan tidak lagi terpusat pada satu pihak saja, melainkan dijalankan melalui mekanisme yang lebih transparan dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil serta hak-hak masyarakat dalam berpartisipasi dalam pemerintahan.

Disetujuinya RUU TNI ini dianggap sebagai tanda matinya demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang seharusnya diperkuat oleh institusi legislatif justru melemah akibat keputusan DPR yang dinilai tidak mencerminkan kedaulatan rakyat. Alih-alih menjadi benteng nilai-nilai demokrasi, DPR justru terlibat dalam persekongkolan yang berpotensi merugikan demokrasi dalam jangka panjang. Dengan disahkannya RUU ini, partai politik dan pemerintahan sipil berisiko mengalami tekanan dari militer dalam menjalankan pemerintahan.

Salah satu pasal dalam RUU ini memungkinkan keterlibatan militer dalam pengelolaan sumber daya alam, yang justru dikhawatirkan akan meningkatkan eskalasi konflik antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan. Alih-alih menjadi solusi bagi keamanan dan stabilitas, kehadiran militer dalam urusan sipil dan ekonomi justru berpotensi memperburuk situasi dengan menempatkan masyarakat dalam posisi berhadapan langsung dengan kekuatan bersenjata negara.

Dalam konteks internal TNI, pihak yang paling diuntungkan dari RUU ini adalah para perwira militer. Salah satu substansi utama dalam RUU ini adalah perpanjangan usia pensiun, termasuk untuk perwira tinggi. Selain itu, ada perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh perwira militer aktif. Hal ini tentu berbahaya bagi sistem demokrasi karena semakin memperlebar ruang bagi militer untuk terlibat dalam pemerintahan sipil, sesuatu yang seharusnya dihindari dalam negara demokratis.

Pemerintahan yang demokratis harus berjarak dari institusi yang tidak mengedepankan nilai-nilai demokrasi. Dalam sistem demokrasi, pemerintahan harus mengedepankan komunikasi yang terbuka dan transparan, dengan pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif dari bawah ke atas. Sayangnya, dalam pembahasan RUU TNI, nuansa militerisme justru sangat terasa. Prosesnya berlangsung secara tertutup, dengan informasi yang sulit diakses oleh publik. Bahkan, naskah akademik dan draf RUU tidak tersedia secara terbuka, sehingga masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan masukan yang berarti sebelum keputusan dibuat.

Pengesahan RUU TNI bukan hanya persoalan teknis hukum, tetapi menyangkut arah demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. Jika tidak ada upaya untuk meninjau kembali dan mengawasi implementasi undang-undang ini, maka dikhawatirkan demokrasi Indonesia akan semakin terkikis, dengan kembalinya pengaruh militer dalam politik dan pemerintahan sipil. Hal ini menjadi tantangan besar bagi masyarakat sipil, akademisi, dan seluruh elemen bangsa yang peduli terhadap masa depan demokrasi di negeri ini.

0 Komentar