Limbah Nuklir Fukushima di Samudera Pasifik, Perlukah Indonesia Khawatir?

 



Baru-baru ini dunia dgemparkan dengan aktivitas Pemerintah Jepang yang membuang limbah nuklir dari pembangkit listrik tenaga nuklir yang rusak di Fukushima ke Samudera Pasifik. Lebih dari satu juta metrik ton air radioaktif yang telah diolah dari PLTN dialirkan ke laut Pasifik. Ini disebut-sebut merupakan proses yang akan memakan waktu puluhan tahun untuk diselesaikan. 

Pihak Pemerintah Jepang dan organisasi ilmiah mengatakan limbah tersebut aman setelah disaring untuk menghilangkan sebagian besar unsur radioaktif kecuali tritium, isotop radioaktif hidrogen. Namun sebaliknya, justru banyak pihak yang merasa khawatir dengan limbah tritium karena dikhawatirkan dapat merusak lingkungan.

Kondisi ini telah telah memicu protes di Jepang dan negara-negara tetangga, khususnya Cina, yang melarang impor produk akuatik dari Jepang. Dampak tritium terhadap manusia, terutama berkaitan dengan potensi paparan radiasi.

Paparan radiasi tritium dapat terjadi melalui konsumsi makanan dan minuman ataupun kontak langsung kepada sumber tritium.

Apabila  berbicara mengenai pembangkit listrik tenaga nuklir, ingatan kita akan kembali kepada tragedi kemanusiaan berupa bencana Chernobyl yang berlangsung pada tanggal 26 April 1986 di Chernobyl Ukraina, yang saat itu masih menjadi bagian dari  Uni Soviet.

Debu radioaktif kemudian tersebar ke kawasan Uni Soviet bagian barat dan Eropa. Debu radioaktif disebarkan oleh angin melalui Belarusia Rusia, dan Ukraina, dan segera mencapai hingga Prancis dan Italia barat.

Imbasnya, jutaan hektare hutan dan lahan pertanian terkontaminasi dan meskipun ribuan orang dievakuasi, ratusan ribu hektare tetap berada di daerah yang terkontaminasi. Selain itu, pada tahun-tahun berikutnya banyak hewan ternak lahir dalam kondisi cacat.

Sementara dampaknya kepada manusia, beberapa orang yang menderita penyakit akibat terpapar radiasi. 

Saat ini kekhawatiran atas dampak dari paparan radioaktif tersebut masih belum pudar. Maka itu, wajar apabila banyak negara yang merasa kuatir dengan paparan limbah radioaktif yang dibuang ke Samudera Pasifik. Apalagi dari segi jumlah, limbah yang dihasilkan oleh Pembangkit istrik TenagaNuklir Fukushima berada dalam skala yang sangat besar yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sebanyak lebih dari satu juta metrik ton air radioaktif dari PLTN dialirkan ke Laut Pasifik. Air tersebut disuling setelah terkontaminasi akibat kontak dengan batang bahan bakar di reaktor, yang hancur akibat gempa bumi dan tsunami tahun 2011.

Tangki di lokasi tersebut menampung sekitar 1,3 juta ton air, cukup untuk mengisi 500 kolam renang ukuran Olimpiade. Selanjutnya, bagaimana dampak dari pembuangan limbah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir bagi biota laut dan manusia?

biota laut maupun manusia. Limbah tersebut dinyatakan aman oleh Pemerintah Jepang

Pengujian sampel yang dilakukan Pihak Jepang  dari 11 titik di dekat pabrik menunjukkan konsentrasi tritium di bawah batas bawah deteksi - 7 hingga 8 becquerel tritium per liter. 

Sejumlah hasil kajian yang dilakukan oleh Badan Pengawas Tenaga Atom Dunia, IAEA, terutama pada kelompok flora dan fauna di sekitar Fukushima Daiichi Nuclear Power Station (FDNPS), menunjukkan bahwa dampak yang masuk dalam kategori aman.

Dampak paparan radiasi yang terjadi pada ikan pipih, kepiting, dan rumput laut, misalnya, sekitar 0,0000007 miligray (mGy) per hari. Angka paparan radiasi ini sangat jauh di bawah ukuran standar keamanan umum internasional yang berkisar 1-10 mGy per hari. 

Bahkan, untuk kepiting, standar baku amannya berkisar 10-100 mGy per hari. Artinya, paparan radiasi pada sejumlah flora dan fauna yang diteliti sangat minim dan tidak berbahaya bagi makhluk hidup tersebut.  

Dari hasil kajian yang telah dilakukan oleh Jepang ataupun IAEA kita bisa katakan bahwa dampak jangka pendek pembuangan limbah FNDS tidak ada. Namun, negara-negara tetangga Jepang patut khawatir dengan kebijakan membuang limbah FDNPS ke laut. Negara-negara tetangga Jepang, seperti Korea Selatan, Korea Utara, dan China, mendesak Jepang menghentikan pelepasan limbah olahan ini. 

Kekhawatiran di Korea Selatan atas bahaya kesehatan telah membuat harga garam laut, bahan utama kimchi, melonjak karena konsumen menimbun bumbu tersebut. China juga sudah melarang impor semua makanan laut asal Jepang.

Akibat adanya kekuatiran atas pembuanganlimbah nuklir ke laut negara-negara tetangga Jepang sudah bermaksud menolak hasil laut yang berasal dari Jepang. Dan bukan tidak mungkin bahwa larangan untuk impor produk hasil laut Jepang akan merembet ke larangan untuk semua produk pangan dari Jepang. 

Larangan terhadap impor produk pangan Jepang dapat berdampak langsung terhadap PDB Jepang dengan kalkulasi sekitar 0.04 persen.

Indonesia dalam konstelasi global merupakan negara yang memiliki jalur laut yang panjang, yang terhubung dengan Samudera Pasifik, Samudera Hindia, Laut Cina Selatan, dan wilayah perairan lainnya. Oleh karena itu, bila terjadi pembuanganlimbah nuklir oleh Jepang, hal ini secara jangka panjang dikhawatirkan akan berakibat terjadinya kontaminasi perairan laut yang bisa saja mengalir ke wilayah Indonesia. 

Kontaminasi limbah nuklir dapat merusak organisme laut, seperti ikan, plankton, dan hewan lainnya. Beberapa spesies ikan asal Indonesia yang bernilai ekonomis tinggi berpotensi terdampak karena pola migrasi ikan tuna sampai ke Samudera Pasifik. Beberapa ikan bernilai ekonomi tinggi itu ialah ikan madidihang atau tuna sirip kuning (Yellowfin tuna). 

Gangguan pada populasi ini bisa mengganggu keseimbangan ekosistem laut yang penting bagi kelangsungan hidup semua makhluk. Kekhawatiran saat ini memang telah melanda pasar ikan tuna Jepang  dan Amerika Serikat terkait adanya paparan radioaktif akibat kebocoran reactor Fukushima daicchii, Jepang, beberapa waktu sebelumnya. Ikan Pacific Blue Fin Tuna (Thunnus orientalis) diketahui terpapar cesium-134 dan cesium-137, dua zat radio aktif yang berbahaya.

Kekhawatiran atas timbulnya bahaya radioaktif pada masa yang akan datang, harus disikapi dengan melakukan monitoring dan kajian kondisi laut secara kontinyu agar limbah tersebut tidak dibuang ke laut lantaran dapat menyebabkan transboundary pollution (pencemaran laut antarnegara). 

Limbah nuklir yang mengandung zat radioaktif berumur panjang peluruhannya sehingga dapat membahayakan perairan dunia hingga perairan Indonesia. Oleh karena limbah tersebut dapat terbawa oleh arus laut hingga jauh tak berujung. 

Ini tentu satu hal yang membahayakan bagiIndonesia yang notabennya adalah negara maritim. Terlebih Indonesia kini sedang menggaungkan konsep blue economy untuk melindungi ekosistem laut negara kita.

Untuk mencegah agar kekhawatiran dalam jangka panjang tidak menjadi sebuah kenyataan, monitoring atas kondisi perairan laut Indonesia dengan keanekaragaman hayati laut yang ada di dalamnya secara berkala harus terus dilakukan. 

Pengkajian atas produk-produk perikanan yang diperdagangkan antara Indonesia dan Jepang harus seintens mungkin dilakukan, dengan melibatkan berbagai NGO Internasional yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan lingkungan.

0 Komentar