Negara Hukum Tanpa Kebebasan : Ironi di Balik RKUHP


Negara Hukum Tanpa Kebebasan : Ironi di Balik RKUHP

Oleh: Subrianicc

 

Kawan-kawan, saat ini kita di hadapkan pada isu yang sangat krusial terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menuai banyak kontroversi. Saat ini sedang rame jadi perbincangan hangat dikalangan masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa. Banyak yang menolak karena dinilai bermasalah dan anti-demokrasi.

Kita sering mendengar Indonesia di sebut sebagai negara hukum. Artinya, semua hal harus berdasarkan aturan, dan hukum harusnya jadi pelindung hak-hak warga, bukan malah menjadi alat untuk mengekang. Tapi yang membuat kita bingung saat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)disahkan, justru , muncul banyak pertanyaan. Apakah hukum ini benar untuk Rakyat atau malah jadi alat pembungkam?

Setelah isinya dibaca dan dibedah, banyak pasal yang bikin khawatir dianggap berbahaya karena bisa mengancam kebebasan berekspresi, privasi dan hak menyampaikan pendapat, hal-hal yang sebenarnya dijamin oleh konstitusi. Salah satu yang paling disorot adalah pasal-pasal karet yang dapat mengancam kebebasan berpendapat.

Pasal mengenai penghinaan terhadap presiden : Ada pasal yang bisa menjerat orang karena dianggap menghina presiden. Masalahnya, batas antara kritik dan penghinaan itu sering kabur dan bisa dimanipulasi. Selain itu, pasal tentang kohabitasi perzinaan : Hidup bersama tanpa menikah atau hubungan di luar nikah bisa dipidana. Ini masalah privasi yang seharusnya tidak dicampuri negara, apalagi dijadikan alat kriminalisasi. Sementara itu, pasal mengenai unjuk rasa tanpa izin : Aksi unjuk rasa yang tidak ada izinnya bisa dianggap melanggar hukum. Padahal sejarah perubahan bangsa ini justru banyak digerakkan lewat aksi massa. 

Ironinya, semua ini terjadi di negara yang mengklaim menjunjung tinggi hukum dan demokrasi. Jika hukum justru membuat rakyat takut berbicara, takut berekspresi, bahkan takut mengatur hidup sendiri apa bedanya dengan masa otoriter?

 Masyarakat saat ini sedang menolak Rancangan Undang- Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena dinilai bermasalah dan tidak pro-demokrasi. RKUHP ini seperti ingin membatasi kebebasan kita dalam mengekspresikan diri dan menyampaikan pendapat. Belum lagi dengan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum juga tinggi.

Kita perlu mendesak pemerintah agar tim penyusun RKUHP di bongkar dan dilakukan pembahasan ulang secara transparan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil. Tujuannya apa? Agar menghasilkan produk hukum yang pro-demokrasi, melindungi hak asasi manusia, dan tidak membatasi kebebasan masyarakat.

Masyarakat mendesak pemerintah untuk melakukan pembahasan ulang yang transparan dan partisipatif, serta memastikan bahwa RKUHP yang dihasilkan tidak merugikan masyarakat dan melindungi hak-hak dasar manusia.

Jangan sampai hukum hanya menjadi formalitas tanpa keadilan. RKUHP memang sudah disahkan, tapi ruang kritik dan revisi tetap harus dibuka. Karena hukum yang ideal bukan hanya soal aturan yang tertulis, tetapi juga tentang bagaimana ia menjaga kebebasan dan martabat manusia.

RKUHP ini bukan hanya soal pasal-pasal hukum, tapi soal masa depan kebebasan kita. Kalau kita diam, mungkin hari ini yang dikriminalisasi orang lain. Tapi besok, bisa jadi giliran kita. Jadi, mari tetap kritis, sadar hukum, dan jangan pernah lelah bersuara.


 

0 Komentar