Skor, Sertifikat, dan Stres: Ironi Pendidikan Kapitalistik Bernama Merdeka Belajar

Oleh Ahmad Rifki Darmawan

HMP ABP HIMARIN FIKP UNHAS

Program Merdeka Belajar–Kampus Merdeka (MBKM) yang dicanangkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (KEMENDIKBUDRISTEK) hadir dengan semangat pembebasan. Mahasiswa didorong untuk belajar di luar kelas, mengembangkan diri melalui magang, proyek sosial, pertukaran pelajar, dan berbagai aktivitas nonformal lainnya. Namun, di balik gagasan progresif ini, realitas yang dihadapi mahasiswa justru menunjukkan paradoks. Alih-alih merasa merdeka, banyak mahasiswa justru terbebani oleh tekanan angka, sertifikat, dan pencapaian administratif yang menjadi tolok ukur keberhasilan.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Tirto.id dan Campaign.com pada 2023 terhadap lebih dari 1.000 mahasiswa di Indonesia menunjukkan bahwa 71% responden merasa tekanan akademik meningkat sejak diberlakukannya MBKM. Mereka mengaku masih dinilai berdasarkan skor IPK, jumlah sertifikat yang dikumpulkan, dan target-target administratif lainnya, bukan dari proses belajar yang bermakna. Merdeka belajar akhirnya hanya terasa di permukaan, sementara sistem penilaian masih berpijak pada logika angka, bukan pada kedalaman pengalaman.

Dalam konteks ini, mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mengejar nilai akademik, tetapi juga harus aktif mengikuti program luar kampus, mengumpulkan portofolio, dan menunjukkan keaktifan organisasi. Tidak jarang, beban tersebut membuat mahasiswa mengalami kelelahan mental (burnout) dan krisis identitas. Sertifikat menjadi simbol prestise, dan IPK tetap menjadi patokan utama, bahkan dalam dunia kerja yang katanya semakin melihat “kompetensi nyata”. Himpunan mahasiswa pun sering kali terjebak dalam rutinitas program kerja, tanpa sempat menyuarakan keresahan kolektif ini secara lantang.

Namun, mahasiswa tetap memiliki ruang untuk bertindak, dimulai dari langkah sederhana sebagai individu. Pertama, penting bagi mahasiswa untuk memaknai ulang arti “berprestasi”. Prestasi bukan hanya soal IPK tinggi atau tumpukan sertifikat, melainkan tentang proses belajar yang jujur dan reflektif. Mahasiswa bisa mulai dengan memilah aktivitas yang benar-benar relevan dan bermakna, bukan sekadar demi “absen keikutsertaan”.

Mahasiswa juga dapat mendorong perubahan dari dalam, misalnya melalui forum diskusi di Himpunan, yang membahas evaluasi pelaksanaan MBKM di kampus masing-masing. Kritik yang dibangun dengan data dan pengalaman lapangan akan lebih kuat dampaknya daripada keluhan personal. Kolaborasi dengan dosen, biro akademik, hingga lembaga kemahasiswaan juga dapat membuka jalan dialog untuk mendorong pendekatan pembelajaran yang lebih manusiawi dan kontekstual.

Merdeka belajar seharusnya berarti merdeka berpikir, merdeka dari tekanan struktural yang tidak relevan, dan merdeka untuk tumbuh sesuai irama masing-masing. Jika tidak disikapi secara kritis, semangat merdeka belajar akan tereduksi menjadi sebatas proyek administratif. Oleh karena itu, sudah saatnya mahasiswa memaknai kembali ruang belajarnya, bukan sekadar mengejar skor dan sertifikat, tetapi membangun kesadaran diri untuk belajar secara utuh, reflektif, dan sehat.


 

0 Komentar