Merantau Demi Asa: Jejak Seorang Mahasiswi Batak di Tanah Sulawesi

 


Menjadi seorang perempuan Batak berarti tumbuh dengan sebuah keyakinan yang mengakar kuat: pendidikan adalah jalan utama untuk mengubah masa depan. Sejak kecilpenulis sudah sering mendengar orang tua berkata, “anakku harus lebih tinggi dari saya, karena itulah harga diri keluarga.” Ungkapan sederhana itu menyiratkan betapa pentingnya pendidikan bagi masyarakat Batak. Bagi keluarga Batak, menyekolahkan anak setinggi-tingginya bukan hanya sebuah pilihan, tetapi sebuah kewajiban. Bahkan, tidak sedikit orang tua rela bekerja keras, menjual tanah, atau berhutang demi memastikan anak-anak mereka bisa menempuh bangku kuliah. Inilah salah satu bentuk nyata dari budaya optimisme Batak, sebuah warisan nilai bahwa masa depan keluarga bisa berubah lewat ilmu pengetahuan.

Penulis adalah salah satu di antara ribuan anak Batak yang merantau jauh dari kampung halaman. Dari Sumatera menuju Sulawesi, melangkah dengan tekad kuat untuk menempuh perkuliahan. Merantau bukanlah hal mudah, ada rindu yang mengendap, ada jarak yang membentang, namun semangat orang tua dan budaya yang melekat dalam diri membuat penulis tetap teguh. Di tanah perantauan, penulis membawa serta nilai-nilai dan tradisi Batak yang menjadi ciri khas. Salah satunya adalah Dalihan Na Tolu, filosofi utama orang Batak yang berarti “tungku yang tiga”. Filosofi ini mengajarkan keseimbangan hubungan sosial: menghormati hula-hula (pihak pemberi istri), menyayangi boru (pihak penerima istri), dan saling mendukung sesama dongan tubu (saudara semarga). Nilai ini membuat orang Batak terbiasa hidup dalam semangat gotong royong, saling menolong, dan menjaga persaudaraan.

Selain itu, ada tradisi martarombo atau memperkenalkan silsilah lewat marga. Setiap orang Batak memiliki marga yang menjadi identitas kuat. Dari marga inilah kita bisa mengetahui silsilah, menemukan hubungan kekerabatan, bahkan menentukan cara berinteraksi. Ketika bertemu dengan sesama Batak di tanah rantau, hal pertama yang ditanyakan adalah marganya. Dari sana akan tercipta kedekatan baru, meski sebelumnya tidak saling kenal. Tradisi lain yang melekat adalah ulos, kain khas Batak yang sarat makna. Bukan sekadar kain, ulos menjadi simbol doa, restu, dan kehangatan. Bagi saya pribadi, ulos adalah pengingat bahwa sejauh apa pun saya melangkah, saya tetap membawa doa dan restu keluarga. Di sisi lain, etos kerja keras orang Batak juga menjadi identitas yang tak terpisahkan. Ungkapan “mate di ho dohot partondion” (lebih baik mati daripada kehilangan harga diri) menunjukkan betapa kuatnya prinsip tanggung jawab. Inilah yang membuat banyak orang Batak berani merantau jauh demi masa depan yang lebih baik.

Merantau bagi penulis adalah wujud nyata dari nilai-nilai budaya tersebut. Seorang anak Batak akan merasa bangga jika bisa mengangkat derajat keluarganya melalui pendidikan. Itulah mengapa meski harus menanggung jarak, kesepian, bahkan tekanan, penulis tetap memilih jalan ini. Di tanah Sulawesi, penulis belajar banyak hal. Tidak hanya ilmu di bangku kuliah, tetapi juga tentang hidup mandiri, beradaptasi dengan budaya baru, dan mengelola kerinduan. Setiap kali rasa lelah datang, penulis teringat wajah orang tua yang penuh harap, teringat adat Batak yang mengajarkan untuk tidak mudah menyerah, dan teringat ulos yang selalu menjadi simbol kekuatan batin.

Bagi penulis, menjadi perempuan Batak di tanah rantau bukan sekadar identitas, tetapi juga tanggung jawab. Penulis membawa harapan keluarga, doa orang tua, dan budaya Batak yang kaya. Merantau membuat saya semakin yakin bahwa pendidikan adalah warisan paling berharga yang diturunkan oleh leluhur: sebuah jalan untuk mengubah perekonomian keluarga, meningkatkan derajat, sekaligus menjaga martabat. Budaya Batak selalu mengajarkan untuk optimis, berani, dan tangguh. Dan di tanah Sulawesi ini, penulis terus melangkah dengan keyakinan bahwa setiap perjuangan penulis hari ini akan berbuah manis, tidak hanya bagi diri saya sendiri, tetapi juga bagi keluarga, adat, dan bangsa.

 


0 Komentar