Privatisasi Laut dan Krisis Pesisir
Oleh Ahmad Fauzan

Bagi nelayan dan masyarakat di pesisir Tanjung Bunga, laut bukan hanya permukaan air yang luas, melainkan bagian penting dari kehidupan. Di situlah mereka menebar jaring, mencari rezeki, dan menafkahi keluarga. “Setiap pagi kami berangkat dengan perahu kecil. Kadang cukup dua atau tiga jam di laut, ikan sudah bisa dibawa pulang untuk makan,” ujar seorang nelayan dari Barombong. Bagi mereka, laut adalah dapur, pasar, sekaligus tempat bersosialisasi.

Namun sejak reklamasi semakin meluas setelah 2024, ruang itu makin menyempit. Garis pantai bergeser, jalur perahu tertutup timbunan pasir, dan lokasi tangkapan ikan kian jauh. Nelayan kecil harus menambah biaya bahan bakar dan waktu untuk melaut lebih jauh, sementara hasil tangkapan tak lagi sebanding dengan ongkos.

Nelayan dan masyarakat sekitar sering mengeluh akibat debu dari truk proyek dan aktivitas pengerukan. “Kalau sore, baju di jemuran penuh abu. Anak-anak pun sering batuk,” ungkap seorang ibu rumah tangga. Debu yang bertebaran itu bukan sekadar mengganggu, tetapi juga mengancam kesehatan.

Di perairan, pengerukan dan timbunan mengubah arus laut serta menimbulkan endapan lumpur yang menutupi dasar laut. Penelitian Amalia (2024) mencatat bahwa pergeseran garis pantai berdampak pada organisme bentik, makrozoobentos yang menjadi sumber makanan ikan. Akibatnya, ikan semakin jarang muncul di wilayah tangkapan tradisional nelayan.

Kekhawatiran semakin memuncak ketika isu penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) di kawasan reklamasi muncul pada awal 2025. Warga pesisir takut akses mereka ke laut akan dibatasi oleh pagar beton atau dijadikan kawasan eksklusif. “Kami tidak butuh tanah di darat, cukup jangan tutup laut kami. Kalau laut ditutup, selesai sudah kehidupan kami,” kata seorang nelayan. Bagi masyarakat pesisir, reklamasi tidak hanya soal pembangunan, melainkan ancaman nyata bagi keberlangsungan hidup. Laut yang diprivatisasi sama artinya dengan menghapus identitas sekaligus mata pencaharian mereka.

Warga kerap merasa hanya dijadikan penonton. Sosialisasi proyek sangat terbatas, dokumen AMDAL tak pernah transparan, dan keluhan masyarakat jarang ditanggapi. Studi Annas & Rusnaedy (2019) sudah menyoroti lemahnya partisipasi publik dalam kebijakan reklamasi Tanjung Bunga, dan kini kondisi itu kembali dialami masyarakat pesisir.

Meski menghadapi banyak tekanan, nelayan dan warga pesisir masih menyimpan harapan. Mereka ingin pemerintah membuka ruang dialog yang benar-benar inklusif, memberi perlindungan hukum atas akses laut, dan menjamin reklamasi tidak mengorbankan kehidupan mereka. “Kalau reklamasi tetap berjalan, jangan biarkan kami jadi korban. Libatkan kami, beri jalan keluar, jangan hanya janji,” ujar seorang tokoh masyarakat.

Bagi nelayan dan masyarakat sekitar, reklamasi Tanjung Bunga bukan hanya pembangunan, melainkan perebutan ruang hidup. Data ilmiah mendukung cerita mereka: ekosistem berubah, pantai bergeser, ikan makin sedikit. Namun yang paling menyakitkan adalah kehilangan.

Kehilangan laut, kehilangan penghidupan, dan kehilangan suara dalam pembangunan kota.


0 Komentar