TULISAN HIMASEI


 

PAGAR BETON DI PESISIR CILINCING, JAKARTA UTARA

Oleh: Nurul Qalbi

Pagar beton di pesisir Cilincing, Jakarta Utara, telah menjadi isu kontroversial yang menarik perhatian luas publik, pemerintah, dan komunitas nelayan. Pembangunan pagar ini bermula dari pemasangan pagar bambu sebagai pembatas area pada sekitar tahun 2016. Namun, pagar fisik mulai digantikan dengan struktur beton yang pembangunan sebenarnya mulai intensif sejak Mei 2025, dan terus bertambah hingga mencapai panjang sekitar 2 hingga 3 kilometer menjulang ke perairan laut. Pembangunan ini dilakukan oleh PT Karya Cipta Nusantara (PT KCN) sebagai bagian dari pengembangan terminal bongkar muat batu bara curah di kawasan tersebut. Proyek ini telah melalui proses perizinan yang lengkap, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menjadikan proyek ini secara hukum sah dan dilegalkan dengan pengawasan ketat oleh KKP.

Walaupun mendapat izin resmi dan pengawasan dari KKP, kehadiran pagar beton tersebut menimbulkan dampak besar terhadap kelangsungan hidup nelayan tradisional di pesisir Cilincing. Para nelayan mengeluhkan pagar tersebut membatasi akses cepat mereka ke laut, memaksa mereka memutar lebih jauh saat melaut. Hal ini menyebabkan peningkatan biaya bahan bakar hingga dua kali lipat dan mengurangi efisiensi operasi penangkapan ikan. Tidak hanya itu, aktivitas bongkar muat batu bara di sekitar pagar juga berdampak buruk terhadap kualitas lingkungan perairan, terutama pencemaran oleh minyak dan limbah batu bara yang menyebabkan berkurangnya keberadaan ikan sebagai sumber penghidupan utama nelayan.

Kutipan langsung dari nelayan sangat menggambarkan kondisi tersebut. Seorang nelayan mengatakan, “Kami nelayan jadi susah akses ke laut, harus muter jauh, konsumsi bahan bakar meningkat dua kali lipat. Tangkapan ikan juga jadi turun, sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga.” Nelayan lain menyatakan, “Pagar beton ini seolah memagar kehidupan kami di laut. Tanpa akses yang mudah, kami harus berjuang lebih keras, tetapi hasilnya semakin sedikit. Kami berharap pemerintah dan PT yang membangun ini bisa mendengar suara kami.”

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menegaskan bahwa pembangunan pagar beton ini bukan berada di bawah kewenangan Pemprov DKI Jakarta, tetapi merupakan wewenang KKP. Ia menambahkan bahwa pihaknya akan memanggil PT KCN untuk memastikan bahwa aktivitas nelayan tetap terjamin dan akses ke laut tidak terganggu, agar nelayan tetap dapat menjalankan pekerjaannya. Menteri Kelautan dan Perikanan pun menegaskan proyek telah melalui proses perizinan dan diawasi ketat agar berjalan sesuai aturan.

Dari sisi data kuantitatif penurunan hasil tangkapan, nelayan di Cilincing melaporkan pengurangan penghasilan secara drastis; pendapatan harian mereka yang dulu bisa mencapai Rp 2,5 hingga 5 juta, kini hanya berkisar Rp 50 ribu saja karena berkurangnya hasil tangkapan. Studi serupa di daerah lain menunjukkan penurunan produktivitas tangkapan seperti penurunan 144.000 kg ikan hasil jaring kejer dan hampir 60% penurunan hasil tangkapan ikan karang akibat aktivitas industri yang merusak ekosistem. Data ini relevan menguatkan dampak serius yang dialami nelayan Cilincing akibat pembangunan pagar beton dan aktivitas bongkar muat batu bara.

Kasus ini memperlihatkan dilema pengelolaan ruang laut antara kebutuhan pengembangan infrastruktur ekonomi dan perlindungan hak serta kesejahteraan nelayan tradisional yang mengandalkan sumber daya laut. Diperlukan tata kelola ruang laut yang transparan, adil, dan berkelanjutan, termasuk pengawasan ketat oleh pemerintah dan mekanisme kompensasi serta mitigasi dampak bagi nelayan. Pendekatan inklusif harus mampu menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan keberlanjutan ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat pesisir.

Dengan demikian, pembangunan pagar beton di Cilincing ini menjadi refleksi penting bagaimana pengelolaan ruang laut di Indonesia harus diseimbangkan agar manfaat pembangunan dapat dirasakan oleh semua pihak tanpa mengorbankan kesejahteraan nelayan yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal pesisir serta kelestarian lingkungan laut yang vital bagi generasi mendatang.

0 Komentar