Menjadi Siapa? Mahasiswa, Sibuk, dan Tiga Jalan Berbeda

penulis : Muh. Chakrawala Jusuf Habibie

 

Di era kampus serba sibuk ini, menjadi mahasiswa bukan lagi sekedar urusan IPK atau absen kelas. Ada begitu banyak jalan dan peran yang bisa diambil untuk membuat dirinya tampak sibuk. Diantara mereka ada yang memilih untuk mengikuti part time ataupun magang, dengan tujuan mencari pengalaman dunia kerja yang katanya kejam. Ada juga yang memilih setia untuk hadir di setiap kursi organisasi, menyambung nalar lewat diskusi larut malam, menyebut organisasi sebagai ladang tumbuh, ilmu tak hanya datang dari dosen, tapi dari debat tak berkesudahan. Serta, ada juga yang memilih di balik pintu kamar kost yang damai, menyelesaikan perkuliahan sore lalu pulang ke dirinya sendiri sambil sibuk belajar untuk mata kuliah esok ataupun beristirahat dengan memiringkan gadget-nya.

 Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru di kehidupan mahasiswa. Dunia kerja saat ini condong memakai sistem kapitalisme termasuk Indonesia. Untuk berhasil dalam sistem ini seseorang perlu memiliki banyak resource dari jabatan, koneksi, reputasi, intelegensi hingga asuransi (satu persen, 2023). Sistem resource tersebut bisa di dapatkan dari banyak hal tergantung bagaimana mahasiswa menentukan standar kehidupannya. Standar kehidupan itu bukan merupakan ajang kompetisi melainkan apa yang bisa kita nikmati. Pertanyaannya, bukan lagi sekadar “ kamu sibuk apa? “ melainkan, “ sibukmu, bikin kamu berkembang atau cuma bikin kamu lelah”

 Kenyataannya, mayoritas mahasiswa sampai hari ini dihadapkan pada pilihan pilihan jalan hidup yang tampak sederhana di permukaan, namun menyimpan dilema di dalamnya.

 Mahasiswa yang memilih part time atau magang sejak dini umumnya sudah fokus menyiapkan diri menghadapi dunia kerja. Tak jarang dari mereka juga memilih role sebagai “ Pemburu Pengalaman Dini “ karena kebutuhan ekonominya. Menurut Fathina & Sudarno (2017), mahasiswa magang diharapkan mampu memperoleh pengetahuan dan keterampilan praktis yang tidak selalu diajarkan di kelas. Di sisi lain, terdapat program dari Kementerian yakni Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang menempatkan mahasiswa di perusahaan bertujuan untuk meningkatkan pengalaman kerja sehingga dapat berada di tingkat kualifikasi yang dibutuhkan pasar. Namun, tak jarang pula mahasiswa yang kelelahan, kehilangan arah, atau bahkan terjebak ekspektasi produktivitas yang tak manusiawi.

 Di sisi lain mereka yang aktif di organisasi kemahasiswaan, biasa disebut “ Organisatoris/Politisi Kampus “, hidup dalam dunia yang tak kalah sibuknya. Berbagai agenda diskusi, pelatihan, advokasi, hingga aksi meyakini bahwa pembelajaran sejati lahir dari meja kesekretariatan di dukung aksi dengan mempertengkarkan pikiran mereka untuk menyelesaikan suatu isu. Menurut (Andy Riski et al, 2024) fenomena organisasi yang sudah tidak relevan merupakan suatu realitas yang dapat menghambat perkembangan dan kesuksesan suatu entitas organisasional. Kenyataannya mahasiswa yang cenderung berorganisasi, bergabung bukan dari ketertarikan atau passion mereka melainkan doktrin lama yang diterapkan sejalan dengan penurunan minat berorganisasi.

Serta tentu saja, ada pula mahasiswa yang memilih jalur berbeda dari kesibukan lainnya yakni “ Mahasiswa Sunyi Produktif “. Mereka tidak terlalu menonjol, jarang terlihat di forum publik, dan lebih suka menyelesaikan persoalan akademik secara mandiri. Banyak dari mereka hidup dengan ritme tenang. Bukan berarti tidak peduli, tapi punya prioritas yang berbeda. Mahasiswa ini cenderung lebih eksplore kegiatan lain di luar dunia kampus berdasarkan minat atau bakatnya. Namun karena minim distraksi dari organisasi, di era glorifikasi kesibukan, jalan ini sering dianggap biasa saja dan lamban berkembang.

Ketiga jalan ini mewakili wajah mayoritas mahasiswa aktif masa kini. Masing masing membawa kelebihan dan konsekuensi. Semua jalan itu bukan untuk menentukan siapa yang terbaik, namun siapa yang paling sadar akan jalan yang dipilihnya. Fenomena ini bukanlah masalah yang perlu diselesaikan, melainkan realitas yang perlu dipahami dengan kacamata bijak. Bukan untuk dibandingkan, apalagi dipertentangkan. Melainkan, bagaimana ketiga jalan ini bisa menjadi tempat kita bertumbuh.

Bagi mahasiswa yang memilih jalan part time atau magang, perlu adanya perlindungan jam kerja dan dukungan psikososial dari kampus setempat. Program MBKM idealnya bukan hanya sekadar mengirim mahasiswa ke perusahaan, tapi juga memastikan mereka dibimbing dan mendapatkan ruang refleksi akademik. Melalui metode itu, mahasiswa akan menganggap bahwa magang atau part time adalah media belajar, bukan rekrutmen murah berkedok sks pendidikan.

Di sisi lain, untuk para organisatoris kampus, revitalisasi kelembagaan menjadi penting. Ormawa perlu mengikuti modernitas dan tidak terjebak pada culture yang tidak baik serta lepas dengan kebanggaan masa lalu. Mulai membuka diri pada format baru yang lebih adaptif. Jika ormawa ingin bertahan, ia harus menjadi tempat bertumbuh bukan hanya tempat sibuk.

Serta, kepada mahasiswa yang lebih suka hidup tenang dan mandiri, bisa menjadi contoh tentang self awareness. Bukan untuk melihat mereka sebagai mahasiswa “ kurang aktif “ tapi kampus perlu memberi ruang luas untuk kegiatan yang berbasis hobi produktif. Meskipun mereka dikategorikan sebagai mahasiswa mandiri, tetap saja dukungan dari orang orang sekitarnya merupakan sesuatu yang penting untuk memperluas wawasannya terkait dunia luar.

 Pada akhirnya, menjadi mahasiswa bukan soal seberapa banyak kegiatan yang diikuti. Tapi seberapa sadar dan bermakna pilihan itu. Apakah kita sedang benar belajar, atau hanya sibuk demi terlihat berhasil?





 

0 Komentar