WILAYAH PESISIR:
DI PINGGIR NEGERI,
DI PINGGIR NASIB
Oleh : Prof. Dr. Andi Adri Arief, S.Pi., M.Si
Guru Besar Sosiologi Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
Membaca Laut dari Pinggir Negeri
Indonesia membanggakan diri sebagai bangsa maritim. Namun di balik
retorika “Poros Maritim Dunia”, realitas sosial
di desa-desa pesisir
memperlihatkan paradoks pembangunan. Desa-desa di tepi laut adalah tapal batas kedaulatan negara — ruang hidup nelayan, petambak, pembudidaya rumput laut — sekaligus benteng
pengetahuan bahari. Namun kehidupan mereka
kerap berjalan dalam sunyi,
luput dari sorotan pusat kekuasaan.
Dalam
perspektif sosiologi kritis, kondisi ini bukan sekadar kebetulan geografis,
melainkan hasil konstruksi struktur
sosial dan politik sebagaimana dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Bourdieu
mengajarkan bahwa ketimpangan bukan sekadar
soal ekonomi, tetapi juga ketimpangan modal simbolik dan kultural yang
direproduksi melalui kebijakan, pendidikan, dan wacana pembangunan. Desa
pesisir direduksi menjadi “objek pembangunan”, bukan “subjek pengetahuan dan
kebudayaan”.
Infrastruktur yang Tertinggal, Keadilan
yang
Tertunda
Hingga kini, banyak desa pesisir belum tersentuh aspal.
Jalan desa berupa
tanah merah berdebu di musim kering, berlumpur saat
hujan. Listrik tak stabil, air bersih diangkut dengan galon atau perahu motor. Sinyal komunikasi hilang timbul. Sekolah dasar berdinding papan menantang angin laut,
guru datang dan pergi, dan Puskesmas hanya papan nama. Dokter dan penyuluh
memilih pulang cepat atau enggan ditempatkan di sana.
Dalam teori strukturasi Anthony Giddens, kondisi ini menunjukkan bagaimana struktur (kebijakan, birokrasi, sistem pembangunan) dan agensi (masyarakat pesisir) saling mempengaruhi, tetapi struktur dominan membatasi ruang gerak agensi. Masyarakat pesisir berupaya bertahan dan menyesuaikan diri, tetapi tanpa redistribusi keadilan struktural, mereka tetap terpinggirkan.
Data yang Mengafirmasi Realitas
Data BPS (2022) mencatat lebih dari 16 juta jiwa masyarakat pesisir
hidup di bawah garis kemiskinan, tersebar di 10.666 desa. Indeks kemiskinan
wilayah pesisir pada angka 0,3214 menegaskan kerentanan struktural. Dalam teori
ketergantungan (dependency theory) Andre Gunder Frank, situasi ini menjelaskan bagaimana wilayah pinggiran (desa pesisir) diserap
hasilnya untuk menopang pusat (pasar nasional dan global), tetapi akses
pada modal dan kesejahteraan tidak pernah mengalir balik secara adil.
Budaya Laut: Pengetahuan yang Bertahan
Dalam
keterbatasan, masyarakat pesisir memelihara pengetahuan lokal yang kaya. Dalam
sosiologi budaya Clifford
Geertz, inilah modal simbolik yang membentuk makna hidup: ritual laut,
mantra tangkap ikan, dan filosofi rumah panggung yang menata relasi tiga alam — bawah, tengah,
dan atas.
Punggawa
dan juragan nelayan tidak hanya diakui karena jumlah perahu, tetapi karena
kemampuan membaca tanda alam, menafsir musim, dan menata pengetahuan
turun-temurun. Michel Foucault menegaskan pengetahuan bukan sekadar kebenaran objektif, tetapi hasil
relasi kuasa. Pengetahuan ekologis pesisir yang diwariskan turun-temurun
kini tersingkir oleh kuasa pengetahuan
ilmiah modern yang jarang mengakui nilai praktis pengetahuan lokal.
Ritual, Magis, dan Relasi dengan
Alam
Emile
Durkheim dalam teorinya tentang fungsi agama menjelaskan bahwa praktik ritual
bukan sekadar kepercayaan irasional, melainkan mekanisme
solidaritas sosial yang
memperkuat kohesi dan moral
kolektif. Demikian pula ritual hari baik dan upacara laut bagi masyarakat
pesisir: ia menata ritme kehidupan kolektif, menjaga harmoni manusia-alam.
Namun
modernisasi datang dengan rasionalisasi ala Max Weber, yang meminggirkan nilai
spiritual-ekologis. Segala praktik
lokal distandarkan dalam proyek efisiensi pembangunan, tanpa
ruang negosiasi pada pengetahuan tradisi.
Desa Pesisir sebagai Ruang Sosial dan Tapal Batas
Dalam pendekatan sosio-antropologi Bronislaw Malinowski, desa pesisir adalah ruang sosial di mana nilai, relasi patron-klien (punggawa-sawi), modal sosial, dan solidaritas kolektif hidup berdampingan. Penelitian klasik Sallatang dan Abidin di Sulawesi Selatan menunjukkan struktur kepemimpinan informal dan nilai gotong royong masih menjadi kekuatan masyarakat pesisir di tengah keterbatasan struktural.
Namun
Habermas mengingatkan, komunikasi di ruang publik hanya efektif jika ada
kesetaraan. Ketika desa pesisir tidak memiliki akses pada informasi, modal, dan
ruang negosiasi kebijakan, maka yang terjadi
adalah dominasi struktural dan
bisu politik. Mereka
hanya menjadi “komunitas nelayan miskin” dalam
statistik, bukan warga negara dengan hak politik penuh.
Membangun Pesisir, Membangun
Keadilan
Dalam teori keadilan
John Rawls, kebijakan harus berpihak pada kelompok paling
rentan. Artinya, pembangunan
pesisir tidak boleh hanya mengejar angka ekspor ikan atau nilai tambah industri
perikanan, tetapi harus menempatkan kesejahteraan nelayan kecil, petambak
tradisional, dan pembudidaya rumput laut sebagai tujuan utama.
Pembangunan
sejati adalah menata kembali struktur distribusi keadilan: air bersih, jalan
desa, sekolah, listrik, layanan kesehatan, dan pasar yang adil. Pengetahuan
lokal perlu diintegrasikan dalam sains dan kebijakan. Karena pengetahuan mereka
lahir dari ribuan pengalaman dan interaksi langsung dengan ekosistem.
Tapal Batas Kedaulatan dan Masa Depan Bangsa Maritim
Desa pesisir bukan sekadar pemukiman nelayan miskin, melainkan tapal
batas kedaulatan. Immanuel Wallerstein dalam World System Theory menjelaskan, pinggiran (periphery) adalah penopang utama pusat (core). Hasil laut dan tambak mereka menopang ekonomi nasional dan
pasar global, tetapi kesejahteraan mereka sendiri sering tercekat di pinggir.
Ketika
desa pesisir kosong karena warganya
hengkang menjadi buruh migran atau urban miskin di kota, laut kehilangan para penjaga setianya. Kedaulatan pangan laut pun rapuh
tanpa mereka. Karena laut
bukan hanya ruang ekonomi, tetapi
juga ruang politik dan identitas kebangsaan.
Jika
negara ingin menegakkan kedaulatan laut, maka tapal batas ini tidak boleh
dibiarkan sunyi. Mereka yang hidup di tepi laut adalah
mata dan telinga
bangsa. Mereka bukan hanya penangkap ikan, tetapi penegak batas
wilayah, penjaga tradisi, dan pemilik pengetahuan ekologi yang tak tergantikan. Melupakan
mereka sama dengan
membiarkan laut menjadi
ruang kosong yang siap
direbut siapa saja.
Menutup Catatan: Merekonstruksi Keadilan dari Pinggir
Desa pesisir mengajarkan kita tentang solidaritas, kebijaksanaan, dan relasi harmonis dengan alam. Namun tameng itu tak cukup tanpa keberpihakan struktural. Membangun bangsa maritim sejati bukan hanya dengan menara pelabuhan dan kapal raksasa, tetapi dengan menyejahterakan para penjaga lautnya. Karena pada akhirnya, seperti dikatakan Paulo Freire, “Tidak ada transformasi sejati tanpa kesadaran kritis. Pembangunan tanpa keberpihakan hanya melahirkan penindasan baru dengan wajah berbeda.”
Jika laut harus dijaga, maka jagalah dulu manusia yang hidup di tepinya. Karena laut hanya akan tetap memberi kehidupan, jika mereka yang menjaga dan mencintainya tetap dimanusiakan.
0 Komentar