Indonesia Membara:
Antara Api Protes dan Aspirasi yang Terabaikan
Oleh: Andi Asnia
Difa
Ibu
kota telah diguncang gelombang demonstrasi yang membara sepanjang pekan ini.
Jalanan dipenuhi ribuan suara yang memecah sunyi, terpantul di antara
gedung-gedung tinggi, tersorot kamera media yang tak pernah lelah mencari
gambar paling dramatis. Di balik kebisingan jalan dan derasnya arus informasi,
ada jeritan hati rakyat yang selama ini terpendam, kemarahan atas elit pemerintahan
yang memancing ulah kemewahan, kelelahan akibat ketidakadilan yang menumpuk,
dan pencarian harapan di tengah badai konflik. Apakah kita masih bisa percaya
pada janji keadilan?
Pangkal
kechaosan ini meledak ketika demonstran menuntut perubahan nyata:
pekerjaan yang layak, biaya hidup yang terjangkau, dan keadilan sosial yang
dijanjikan konstitusi. Ironisnya, di saat rakyat berjuang memenuhi kebutuhan
dasar, para anggota parlemen justru menerima tunjangan rumah dan fasilitas yang
nilainya mencapai 50 juta rupiah per bulan. Sepuluh kali lipat dari upah
minimum Jakarta. Bagi sebagian rakyat, angka ini bukan sekadar fantastis
melainkan penghinaan terselubung. Mereka yang bekerja keras dari pagi hingga
malam demi sesuap nasi terpaksa melihat para pemimpin negara menikmati
kemewahan yang sulit dijangkau.
Ketimpangan
ini bukan sekedar deretan angka statistik. Ini adalah simbol kebuntuan
struktural yang memicu amarah publik. Amarah itu kini berubah menjadi bara,
bangunan publik dibakar, korban berjatuhan, nyawa melayang, dan kota dikepung
asap pekat. Langit berubah merah menyala menelan gedung-gedung dan
mencatat sejarah di jalanan. Seruan protes, tepukan solidaritas, dan tangis
seorang ibu yang kehilangan anaknya di tengah kekacauan menjadi pemandangan
yang menusuk nurani. Negeri ini tak hanya retak, ia terbakar dari jiwa-jiwa
yang merasa dikhianati.
Apakah
negara masih berkewajiban menghadirkan keadilan, ataukah janji itu hanya
retorika kosong? Wakil rakyat yang bergelimang fasilitas
seharusnya memperjuangkan lapangan kerja, mengendalikan harga kebutuhan pokok,
dan membangun perumahan yang layak. Namun kenyataan justru terbalik. Ada
segelintir oknum yang hanya fokus memperkaya diri, membiarkan rakyat terhimpit
beban hidup, dan menganggap demonstrasi sebagai sekedar gangguan keamanan,
bukan panggilan untuk berbenah.
Untuk
saudara-saudara mahasiswa, aspirasi adalah denyut nadi perubahan. Filsuf Paulo
Freire pernah mengingatkan bahwa “kritik tanpa cinta kepada masyarakat akan
kehilangan efektivitas moralnya.” Suarakan tuntutan dengan integritas akademis,
pilih strategi aksi yang cerdas. Jangan biarkan amarah murni berubah menjadi
anarkisme yang justru melukai rakyat sendiri. Api yang menyala memang membakar
ketidakadilan, tetapi juga tak pandang bulu, bisa meluluhlantakkan lebih banyak
harapan daripada yang diperjuangkan.
Kini,
Indonesia berdiri di perempatan sejarah. Di satu sisi ada tragedi kebakaran
massa, di sisi lain ada secercah harapan untuk dialog dan rekonsiliasi. Jalan
mana yang akan kita pilih? Saatnya para politisi menanggalkan ego dan mendengar
suara rakyat, saatnya aktivis mengubah teriakan menjadi gagasan, dan saatnya
rakyat percaya kembali bahwa perubahan bukan utopia. Kita harus membangun
jembatan yang runtuh, menyalakan percikan harapan lewat keadilan nyata, dan
mengingatkan diri sendiri bahwa bangsa ini pernah bertahan menghadapi badai
lebih dahsyat, bahkan di masa Orde Baru.
Tantangan
kita bukan sekadar memadamkan api di jalanan, tetapi memetik pelajaran dari api
itu. Setiap kobaran seharusnya menjadi pelita yang menerangi generasi
mendatang, bukan bara yang menyisakan trauma. Indonesia bertahan bukan karena
diam, tetapi karena keberanian berkarya, melawan ketidakadilan, dan
memperjuangkan nurani bersama. Kini, di tengah asap yang menutupi langit,
pertanyaannya sederhana namun menentukan: Apakah kita akan membiarkan api
ini padam begitu saja, ataukah kita akan mengubahnya menjadi harapan untuk
bangsa?
0 Komentar