“17+8
Tuntutan Rakyat: Awal Babak Baru Reformasi atau Hanya Janji Kosong DPR?”
Gelombang
protes besar yang terjadi di Indonesia pada Agustus–September 2025 melahirkan
sebuah gerakan bernama “17+8 Tuntutan Rakyat.” Gelombang ini lahir dari
rasa muak masyarakat terhadap gaya hidup mewah pejabat dan kebijakan DPR yang
dianggap tidak berpihak pada rakyat. Aksi demonstrasi menyebar hampir di
seluruh provinsi, menuntut adanya perubahan nyata dalam pengelolaan negara.
Tuntutan itu bukan hanya soal uang, melainkan juga tentang keadilan,
transparansi, dan penghormatan terhadap hak-hak sipil.
Isi
tuntutan rakyat cukup beragam, namun semuanya berakar pada satu hal: keinginan
agar DPR kembali dekat dengan rakyat. Beberapa di antaranya adalah
penghentian tunjangan perumahan dan fasilitas mewah, keterbukaan penuh soal
gaji dan anggaran DPR, pembebasan demonstran yang ditahan, penarikan TNI dari
pengamanan sipil, serta pembentukan tim independen untuk mengusut kasus
kekerasan aparat. Tuntutan ini lahir dari keresahan mendalam bahwa DPR, yang
seharusnya menjadi wakil rakyat, justru hidup jauh lebih nyaman daripada
orang-orang yang mereka wakili.
Tekanan
yang semakin kuat akhirnya memaksa DPR untuk merespons. Dalam rapat pimpinan
bersama seluruh fraksi, DPR menghasilkan enam keputusan penting.
Pertama, tunjangan perumahan anggota DPR dihentikan per 31 Agustus 2025. Kedua,
perjalanan dinas luar negeri dihentikan sementara, kecuali untuk undangan resmi
kenegaraan. Ketiga, berbagai tunjangan tambahan seperti listrik, telepon,
komunikasi intensif, dan transportasi dipangkas. Keempat, anggota DPR yang
dinonaktifkan partainya tidak lagi menerima hak keuangan. Kelima, Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) akan lebih tegas dalam menindak anggota DPR bermasalah
bekerja sama dengan mahkamah partai. Keenam, DPR berkomitmen untuk meningkatkan
transparansi serta partisipasi publik dalam proses legislasi.
Selain
enam keputusan itu, DPR juga mengambil langkah transparansi dengan mengumumkan
besaran gaji bersih anggotanya. Take-home pay anggota DPR kini sekitar
Rp65,5 juta per bulan, turun dari sekitar Rp104 juta sebelumnya setelah
dilakukan pemangkasan tunjangan. Bagi sebagian kalangan, ini merupakan
terobosan positif. Namun, tidak sedikit juga yang menilai langkah tersebut
hanyalah strategi “kosmetik” untuk meredakan kemarahan publik tanpa menyentuh
akar masalah.
Meski
ada kemajuan, sejumlah tuntutan utama rakyat masih belum terpenuhi.
Pembebasan demonstran belum seluruhnya dilakukan. Militer masih kerap
dilibatkan dalam pengamanan sipil, sebuah praktik yang menuai kritik keras
karena berpotensi menggerus demokrasi. Sementara itu, pembentukan tim
investigasi independen atas kasus kekerasan aparat juga belum terealisasi.
Kasus tragis tewasnya Affan Kurniawan, seorang ojek online yang meninggal
tertabrak kendaraan taktis saat demonstrasi, masih menyisakan luka dan menjadi
simbol lemahnya akuntabilitas aparat.
Situasi
ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah DPR benar-benar serius menjalankan
reformasi, atau hanya mencari jalan kompromi? Para pengamat menilai,
keputusan yang sudah diumumkan memang patut diapresiasi sebagai langkah awal,
tetapi tidak cukup. Substansi dari reformasi—seperti demokratisasi partai
politik, pembatasan peran militer, dan perlindungan hak-hak sipil—belum juga disentuh.
Jika hal ini terus dibiarkan, kepercayaan rakyat terhadap DPR akan semakin
terkikis.
Gerakan
17+8 menunjukkan bahwa suara rakyat masih memiliki daya tekan yang kuat. Ia
bisa menjadi momentum sejarah baru, sebagaimana reformasi 1998 yang pernah
mengguncang negeri ini. Rakyat sudah turun ke jalan, DPR sudah menjawab
sebagian, tetapi perjalanan menuju perubahan sejati masih panjang. Kini publik
menunggu: apakah DPR akan benar-benar mendengarkan, atau hanya kembali terjebak
dalam pola lama yang selama ini dipertahankan?
0 Komentar