Tekanan yang Menggerakkan atau
Menghancurkan?
Sejauh mana
ekspektasi yang melekat pada mahasiswa sebenarnya membentuk siapa mereka?
Apakah beban yang disebut sebagai pendorong keberhasilan itu benar-benar
motivasi, atau justru menjadi rantai yang membelenggu potensi asli? Di dunia
kampus, tuntutan yang datang dari pihak keluarga, dosen, serta lingkungan
sosial sering kali dilempar tanpa mempertimbangkan apakah mahasiswa sudah siap
atau tidak. Apakah ekspektasi yang berlebihan ini sebuah cara efektif untuk
memancing prestasi, atau malah merenggut kebebasan berpikir dan berkembang?
Mengapa nggak sedikit
mahasiswa yang justru merasa terjebak dalam pusaran ekspektasi, lalu
mengaburkan batas antara motivasi sehat dan tekanan destruktif? Ekspektasi
idealnya menggerakkan individu menuju pencapaian, tapi kenapa realitasnya
sering kali membuat mereka trauma, bahkan kehilangan jati diri? Apakah kita
sudah memberikan ruang yang memadai bagi mahasiswa untuk gagal dan belajar
tanpa harus merasa dihukum oleh standar yang terlalu tinggi?
Apa sebenarnya yang
terjadi ketika tekanan mulai bertransformasi menjadi beban mental yang menekan
hingga ke titik terendah? Apakah kampus, sebagai tempat pendidikan sekaligus wadah
pembentukan karakter, sudah cukup responsif terhadap sinyal-sinyal stres dan
kelelahan yang dialami mahasiswa? Bukankah kampus juga bertanggung jawab
menyediakan lingkungan yang memungkinkan mereka berkembang secara holistik,
bukan hanya sekadar mengejar angka dan gelar?
Bagaimana kita bisa
memaknai ekspektasi jika tanpa refleksi kritis, ekspektasi tersebut bisa
mengikis rasa percaya diri dan membuntukan kreativitas? Apakah kita tetap akan
menerima budaya ‘tekan dulu, nanti lihat hasilnya’ tanpa mempertimbangkan
dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental generasi muda? Seberapa jauh
kita menyadari bahwa ekspektasi bukan hanya soal standar akademik, tapi soal
nilai kemanusiaan yang seharusnya menghargai proses dan keberagaman cara
belajar?
Maka, akankah beban
ekspektasi ini selalu menjadi penggerak yang memotivasi, atau justru menjadi
racun yang perlahan menghancurkan? Apakah kita cukup berani mempertanyakan
sistem yang telah membentuk ekspektasi itu sendiri, agar mahasiswa tak sekadar
menjadi korban tekanan, tapi mampu berdiri sebagai pribadi yang tangguh,
kreatif, dan memiliki integritas? Jika dunia kampus hanya menjadi ajang
kompetisi tanpa ruang bagi kemanusiaan, apakah arti sebenarnya keberhasilan
yang ingin kita raih?
Dengan begitu banyak
pertanyaan yang menggantung, dunia kampus menantang kita untuk merefleksikan
kembali: Apakah beban ekspektasi ini adalah alat untuk mematangkan karakter,
atau justru jebakan yang memupus impian? Jawabannya tergantung pada bagaimana
kita sebagai individu, pendidik, dan masyarakat memilih untuk merespons tekanan
itu apakah sebagai desakan destruktif atau sebagai bahan bakar perubahan yang
positif.
0 Komentar