Di negeri yang gemar menepuk
dada akan prestasi semu, kita patut bersyukur karena dianugerahi pemimpin
dengan keahlian unik: mengubah krisis menjadi tontonan. Ketika rakyat meradang
karena persoalan klasik kesenjangan sosial, harga kebutuhan pokok, hingga
penggerusan hak asasi, jawaban yang datang dari istana bukanlah penyelesaian,
melainkan pementasan. Sebuah mahakarya manajemen konflik yang mungkin tak akan
ditemukan di buku-buku teks manapun, kecuali dalam catatan kelam sejarah.
Pelajaran pertama yang harus
kita catat dari "buku panduan" ini adalah seni mengalihkan
fokus. Api yang berkobar di jalanan bukanlah cermin dari kegelisahan rakyat,
melainkan hasil "campur tangan asing", "provokasi
kelompok tak bertanggung jawab", atau "ulah segelintir pihak
yang ingin merusak stabilitas". Dengan narasi itu, problem struktural
segera tersapu. Rakyat tak lagi tampak sebagai korban, melainkan sebagai
tersangka. Sungguh trik retorika yang hemat energi, karena dengan satu label,
ribuan keluhan bisa dihapuskan. Dan yang lebih ajaib, narasi ini bisa berulang
dipakai di setiap zaman, tanpa pernah basi, seolah rakyat memiliki memori ikan
yang mudah dihapus.
Pelajaran kedua adalah metode
pemadaman yang revolusioner. Jika para akademisi tua selalu berteriak "gunakan
air untuk memadamkan api", istana kita menampilkan kreativitas yang
lebih berani: menyiramnya dengan bensin. Demonstrasi dihadapi dengan gas air
mata, tuntutan dijawab dengan intimidasi, dan keluhan rakyat ditenggelamkan
oleh parade aparat bersenjata lengkap. Di atas panggung, aparat yang paling
keras tangan justru menerima penghargaan, seolah kekerasan adalah bentuk
tertinggi dari pengabdian. Dalam kamus ini, dialog dan negosiasi hanyalah
ornamen, sementara arogansi adalah strategi. Hasilnya? Api tak pernah padam,
justru menyala lebih terang, dan dengan itu, panggung kekuasaan tetap hangat.
Pelajaran ketiga menyangkut
seni mengatur waktu. Di mata publik, keterlambatan respons dianggap kelemahan.
Namun bagi seorang maestro krisis, diam justru sebuah instrumen. Dua hari
bungkam di tengah kobaran api bukanlah sikap lamban, melainkan jeda teatrikal
yang penuh kalkulasi. Diam yang dimaknai sebagai "kontemplasi",
meski pada hakikatnya hanya kebingungan. Di era informasi yang berlari kencang,
keterlambatan itu dijual sebagai kebijakan: seolah-olah semakin lama bicara,
semakin dalam wibawa. Dan rakyat yang sudah kelelahan menunggu, akhirnya
belajar menerima diam sebagai jawaban.
Tak berhenti di situ, ada
pula pelajaran keempat: seni memanipulasi narasi penutup. Rumah yang terbakar
bukan lagi masalah, melainkan peluang untuk pamer ketangguhan. Penghuninya
dikunci, penyebabnya ditudingkan pada cuaca, dan petugas penyiram bensin dipuji
sebagai pahlawan. Media yang mestinya jadi saksi, berubah menjadi corong,
menyiarkan cerita versi tunggal: bahwa semua sudah terkendali, bahwa rakyat
harus berterima kasih, dan bahwa bara yang masih menyala hanyalah ilusi mata.
Akhirnya, bangsa ini kembali
diajak belajar: bahwa seni memimpin bukanlah soal melayani rakyat, melainkan
soal mempertahankan citra. Bahwa api sosial tak pernah dimaksudkan untuk
dipadamkan, tetapi untuk dijadikan pertunjukan agar publik sibuk berdebat tentang
asap, sementara bara di dalam tetap terjaga. Sebab, di dalam logika kekuasaan,
api bukan ancaman melainkan lampu sorot yang terus menyinari
panggung istana.






0 Komentar