TULISAN HIMASEI
Ketika Gesekan Berujung Api: Refleksi Konflik Nelayan dan Negara
Oleh : Khalifah Amaliah Annur
Peristiwa terbakarnya kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, pada 13 September 2025, bukan sekadar
berita kriminal biasa. Insiden ini adalah cermin buram dari kompleksitas
hubungan antara negara, melalui aparatnya, dengan masyarakat pesisir yang hidup
dari laut. Aksi pembakaran yang diduga dilakukan oleh sekelompok nelayan ini,
adalah ledakan dari akumulasi gesekan yang telah lama membara di bawah
permukaan. Ini bukan hanya tentang penegakan hukum, melainkan tentang
perjuangan hidup, ketidakadilan, dan hilangnya kepercayaan.
Di satu sisi, kita memiliki negara yang berupaya mati-matian menjaga
kekayaan bahari dari ancaman perikanan ilegal dan eksploitasi berlebihan.
Kebijakan KKP, dengan segala aturannya, lahir dari visi besar untuk menciptakan
laut yang berkelanjutan dan makmur. Larangan alat tangkap yang merusak,
pembatasan zona tangkap, dan sanksi tegas bagi pelanggar adalah bagian dari
upaya mulia ini. Namun, di sisi lain, ada realitas keras yang dihadapi
nelayan-nelayan kecil. Mereka bukanlah korporasi raksasa yang mengeruk hasil
laut tanpa batas, melainkan individu-individu yang menggantungkan nasib
keluarga pada setiap jaring yang ditebar. Bagi mereka, sebuah aturan baru bisa
berarti hilangnya satu-satunya sumber penghasilan.
Konflik ini sering kali berakar pada kesenjangan informasi dan
komunikasi. Nelayan sering merasa kebijakan dibuat tanpa melibatkan mereka,
seolah-olah mereka adalah objek dari aturan, bukan subjek yang berhak
berpendapat. Sosialisasi yang minim atau tidak efektif membuat mereka hanya
melihat satu sisi koin: pembatasan dan larangan yang mengancam dapur mereka.
Rasa ketidakpahaman ini kemudian berubah menjadi rasa tidak adil, yang pada
akhirnya memicu perlawanan. Pembakaran kapal patroli, meskipun tindakan kriminal
dan tidak dapat dibenarkan, adalah bentuk protes ekstrem dari mereka yang
merasa suaranya tidak didengar.
Penyelesaian konflik ini tidak bisa hanya melalui jalur hukum semata.
Menangkap para pelaku memang penting untuk menegakkan aturan, tetapi itu tidak
akan menyelesaikan akar masalahnya. Pemerintah perlu melakukan introspeksi
mendalam. Apakah pendekatan yang digunakan selama ini sudah tepat? Apakah sudah
ada dialog yang setara antara KKP dan komunitas nelayan? Dibutuhkan pendekatan
yang lebih humanis dan kolaboratif. Dialog terbuka, pelibatan nelayan dalam
perumusan kebijakan, serta program-program alternatif untuk membantu mereka
beradaptasi dengan regulasi baru adalah langkah-langkah konkret yang harus
diambil.
Akhirnya, insiden di Pesisir Selatan ini adalah pengingat pahit bahwa
keberlanjutan laut tidak bisa dicapai tanpa keberlanjutan hidup nelayannya.
Laut adalah rumah bagi ikan, tetapi juga sumber kehidupan bagi manusia. Merawat
laut berarti juga merawat mereka yang hidup darinya. Jika negara dan nelayan
terus berdiri di sisi yang berseberangan, gelombang konflik akan terus datang,
dan setiap kali ia datang, akan selalu ada sesuatu yang hangus terbakar.
Referensi:
Https://www.waspada.id/nusantara/kapal-patroli-kkp-dibakar-massa-nelayan-di-pantai-muara-sumbar/
https://www.kompas.tv/regional/617215/polisi-selidiki-kasus-speedboat-patroli-kkp-diduga-dibakar-di-pantai-muara-air-haji-kompas-pagi
https://www.detik.com/sumut/berita/d-8109510/kapal-patroli-kkp-dibakar-nelayan-di-pesisir-selatanhttps://regional.kompas.com/read/2025/09/13/060333978/kapal-patroli-kkp-dibakar-massa-nelayan-di-pantai-muara-sumbar






0 Komentar